Jakarta – Hujan masih rutin mengguyur hingga akhir Februari ini setelah sebelumnya sempat mereda di Januari. Pengaruh badai dan angin diduga kuat jadi pemicunya.
Dalam analisis iklim yang dirilis September 2022, BMKG mengatakan “puncak Musim Hujan 2022/2023 di sebagian besar wilayah ZOM (zona musim) diprakirakan terjadi pada bulan Desember 2022 dan Januari 2023 sebanyak 295 ZOM” dari total 699 ZOM.
Namun, paruh pertama Januari 2023 cuaca terpantau tak begitu basah. Beberapa hari bahkan panas terik bak musim kemarau. Sejak pertengahan Februari hujan rutin mengguyur hingga hari ini. Ada apa?
Secara klimatologis, kata Erma, puncak musim hujan “cukup terjadi sekali saja selama rentang waktu sekitar seminggu antara bulan Januari-Februari, khususnya untuk wilayah Jawa.”
“Namun, tidak untuk tahun ini,” lanjutnya.
“Ketika siklon tropis baru fase awal mulai akan terbentuk, ada yang disebut fase prakondisi, dan ini efeknya sangat besar dalam menghasilkan ketidakstabilan sekaligus ketidakpastian di atmosfer, yg memicu peningkatan pesat cuaca ekstrem,” tutur dia.
Terlebih, kata Erma, ada efek perubahan iklim yang membuat siklon tropis atau badai vorteks memiliki intensitas yang semakin kuat.
Hasil kajian terbaru BRIN menunjukkan siklon tropis bahkan bisa dibentuk dari perairan lokal Indonesia yaitu dari Laut Banda-Maluku. Siklon tropis ini dapat dihasilkan dari pembentukan vorteks yang terus menerus membesar sehingga dapat menjadi siklon tropis, ujarnya.
“Penguatan monsun Asia dan pembentukan pusat tekanan rendah di Australia inilah dua penyebab utama peningkatan signifikan hujan kembali terjadi di Indonesia,” urainya.
Menurut prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), banyak kota besar di Indonesia akan hujan ringan pada Senin (27/2) pagi. Di antaranya, DKI Jakarta dan Makassar.
Pada siang hari, BMKG mencatat terdapat dua kota yang akan diguyur hujan dengan intensitas ringan yakni Makassar dan juga Palembang.
Terkait cuaca ekstrem ini, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Didi Satiadi sempat menganalogikan cuaca sebagai motor yang putarannya lebih cepat.
“Jadi mesinnya cuaca adalah dari Matahari, pemanasan. Kalau pemanasannya ini bertambah karena gas rumah kaca tadi, maka siklus hidrologi yang seperti rantai tadi akan berputar lebih cepat,” kata dia, dalam acara Bincang Sains bertajuk ‘Waspada Cuaca Ekstrem’ secara virtual, Rabu (28/12).
“Karena berputar lebih cepat, artinya lebih cepat terjadi penguapan, lebih intens, lebih deras hujannya, jadi lebih basah sekaligus lebih kering,” imbuhnya. (tim/arh)
Source: CNN Indonesia