Next Post

Aturan ODOL Dinilai Berat Sebelah, Sopir Truk Ancam Mogok

a84623ec-9389-469d-982f-1e91cf26f46a

Ternate — istanafm.com. Sejumlah sopir truk di Kota Ternate, Maluku Utara menyampaikan keberatan terhadap penerapan aturan pemerintah terkait kendaraan over dimension over loading (ODOL).

Mereka menilai kebijakan tersebut membebani sopir secara sepihak dan belum disertai sosialisasi yang menyeluruh.

Wakil Ketua Kerukunan Sopir Lintas Maluku Utara (KSL Malut), Slamet Kasim, mengatakan bahwa kebijakan ODOL berdampak luas, terutama bagi pelaku jasa angkutan barang.

Ia menilai sopir hanya pelaksana di lapangan dan tidak seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang dimintai tanggung jawab.

“Yang memesan jasa angkut itu pemilik barang. Kami hanya menjalankan,” ujar Slamet kepada reporter Istana FM, Rabu, 26 Juni 2025. Ia menambahkan, “Kalau aturan ODOL ini dijalankan tanpa melibatkan semua pihak, maka akan merugikan banyak orang, termasuk pedagang dan pengusaha kecil.”

Aturan ODOL diatur melalui sejumlah regulasi, di antaranya:

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pengawasan Muatan Angkutan Barang

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ)

Pasal 307 UU LLAJ menyebutkan, pelanggaran terhadap batas muatan kendaraan dapat dikenai sanksi kurungan maksimal dua bulan atau denda hingga Rp500.000.

Slamet menjelaskan, pengangkutan barang antarpulau di wilayah Maluku Utara memerlukan biaya tinggi.

“Untuk angkut 4 ton barang dari Ternate ke Sofifi, kami pasang tarif Rp3 juta. Tiket feri Pulang Pergi (PP) saja sudah Rp1,3 juta, belum termasuk bahan bakar dan kebutuhan sopir,” ujarnya.

Koordinator Humas KSL Malut, Rifka Sandi Ely, menambahkan bahwa penyesuaian aturan ODOL harus mempertimbangkan kondisi geografis dan ekonomi daerah.

Menurut dia, harga kebutuhan pokok dan logistik di Maluku Utara relatif tinggi sehingga pengurangan kapasitas angkut justru memperbesar beban biaya distribusi.

“Kami terbiasa mengangkut 6-7 ton. Kalau dibatasi hanya 4 ton, tarifnya bisa tidak mencukupi. Sopir jadi korban,” ujar Rifka.

Ia meminta pemerintah agar melakukan sosialisasi menyeluruh, tidak hanya kepada sopir, tetapi juga kepada pihak ekspedisi, pemilik barang, dan kontraktor.

“Kami minta ada pertemuan untuk mencari solusi bersama. Jangan sampai aturan ini justru menghambat distribusi barang dan menyulitkan masyarakat di daerah,” ucapnya.

Rifka menegaskan, jika aspirasi sopir tidak didengar dan kebijakan tetap dijalankan secara sepihak, mogok kerja bisa menjadi pilihan terakhir. (Rifal Amir)

ISTANA FM

ISTANA FM

Related posts

Newsletter

Jangan sampai ketinggalan informasi! Masukkan email Anda dan dapatkan update atas setiap berita terbaru di Istana FM!

ban11