Ternate – istanafm.com. Film dokumenter Ngomi O Obi (Kami yang di Obi), karya kolaborasi Arfan Sabran dan TV Tempo, diputar di ruang Nuku, Gedung Rektorat Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara, pada 15 Juli 2025.
Film berdurasi 29 menit 27 detik itu menyoroti persoalan sosial dan lingkungan di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Lewat dokumenter ini, penonton diajak menalar dinamika faktual di Obi: dari dugaan pencemaran, perebutan ruang hidup, hingga adaptasi masyarakat terhadap perubahan lingkungan mereka.
Film ini juga menampilkan upaya mitigasi perusahaan tambang seperti pembangunan kolam pengendap dan reklamasi, serta kisah warga lokal yang membentuk koperasi dan memproduksi makanan olahan untuk memenuhi kebutuhan pekerja tambang.
Kegiatan ini bertujuan menyajikan potret sosial-ekologis Pulau Obi kepada publik, terutama kalangan mahasiswa. Diskusi seusai pemutaran film menjadi ruang tukar gagasan antara pembuat film, tokoh lokal, dan peserta, untuk membahas dampak pertambangan terhadap masyarakat adat dan lingkungan.
Diskusi menghadirkan lima narasumber: Siti Marnia (petani Obi), Ibrahim (nelayan Obi), Anton Aprianto (CEO TV Tempo), Sulfi Abdul Haji (akademisi Unkhair), dan Dony P. Herwanto (Kepala Divisi Kreatif dan Bisnis TV Tempo).
Rektor Universitas Khairun, Dr. M. Ridha Ajam, menyampaikan apresiasi atas kehadiran dokumenter ini di kampusnya. “Saya berterima kasih karena Unkhair dipilih sebagai lokasi pemutaran. Nama Tempo identik dengan integritas, independensi, dan kredibilitas,” ujarnya dalam sambutan.
Meski belum menonton secara utuh, Ridha menilai film ini penting untuk memperluas perspektif mahasiswa dan dosen. “Kami siapkan ruang dan peserta untuk menonton dan berdiskusi agar lebih memahami kondisi di Pulau Obi,” katanya.
Ridha juga mengaku sejak awal tertarik dengan isu ini. Ia aktif mencari informasi terkait Obi, bahkan menemukan video yang mencatut nama Universitas Khairun. Ia menegaskan pentingnya membedakan pandangan pribadi dengan sikap institusi.
“Jangan ada yang membawa nama Unkhair untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.
Menurut Ridha, keberadaan industri tambang di Obi tidak bisa dihindari. “Menghentikan industri hampir mustahil karena prosesnya panjang dan melibatkan jejaring internasional. Tapi industri harus memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.
Ia mencontohkan kerja sama dengan PT Harita Group yang telah menyumbang ambulans dan memberikan beasiswa bagi pelajar Obi. Sementara, Ridha juga menekankan bahwa Universitas Khairun memiliki prosedur penelitian yang ketat melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM).
“Proposal harus dikaji dan dipresentasikan. Institusi tidak bisa sembarangan memberi nama dalam riset,” katanya.
CEO TV Tempo, Anton Aprianto, menyampaikan pentingnya keterbukaan terhadap kritik. “Kalau wartawan Tempo tidak siap dikritik, sebaiknya cari profesi lain. Kami diajarkan untuk selalu berpihak pada publik,” ujarnya.
Anton juga mengatakan bahwa partisipasi mahasiswa sangat berarti. “Kritik bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk memperbaiki. Aspirasi mahasiswa membantu kami menangkap realitas dari berbagai sisi,” ujarnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara, Fachruddin Tukuboya, mengatakan bahwa pemerintah terbuka terhadap kritik dan siap menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Ia mencontohkan respons terhadap aksi mahasiswa BEM Unkhair soal tambang di Sagea.
“Kami turun ke lapangan dan tindak lanjuti aspirasi mereka,” katanya.
Fachruddin menegaskan bahwa pemerintah mendukung kebijakan hilirisasi nasional, namun tidak menutup mata terhadap dampak lingkungan.
“Pemerintah tidak akan diam jika ada temuan di lapangan. Pencegahan terus kami lakukan untuk meminimalkan dampak aktivitas tambang,” ucapnya. (Rifal)