Ternate – istanafm.com. Front Perjuangan untuk Demokrasi (FPUD) Maluku Utara menggelar aksi di depan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara, Rabu, 23 Juli 2025. Aksi ini menuntut pembebasan 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, yang dikriminalisasi usai menolak aktivitas tambang PT Position.
Dalam aksinya, FPUD menilai tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat semakin menjadi kebiasaan negara. Aparat kepolisian dan militer kerap menjadi alat kekuasaan dan pemodal dalam merespons protes masyarakat, alih-alih menjamin keadilan.
“Kekerasan terhadap rakyat yang memperjuangkan lingkungan menjadi wajah gelap demokrasi kita hari ini,” kata Ashabillah Suleman, Koordinator FPUD Malut.
Kasus 11 warga Maba Sangaji bermula saat mereka menyuarakan penolakan terhadap aktivitas tambang PT Position, yang dinilai merusak hutan dan mengancam lingkungan hidup. Penolakan itu disampaikan dalam bentuk ritual adat di wilayah konsesi tambang, serta penyerahan pernyataan sikap pada 16–18 Mei 2025.
Alih-alih mendapat tanggapan, belasan warga justru ditangkap dan ditahan oleh Kepolisian Daerah Maluku Utara pada 19 Mei. Mereka bahkan dilaporkan mengalami tindakan kekerasan selama masa penahanan.
“Tak hanya ditahan, mereka juga menjadi korban kekerasan fisik dan pelecehan,” kata Ashabillah.
Aksi solidaritas yang dilakukan kalangan perempuan dan pemuda juga mendapat respons represif. Sejumlah massa aksi disebut mengalami luka dan pelecehan saat berunjuk rasa menuntut pembebasan para pejuang lingkungan.
Pada 16 Juni 2025, Pengadilan Negeri Soasio Tidore menetapkan 11 warga sebagai tersangka. “Padahal mereka hanya menyuarakan hak atas lingkungan sehat. Ini bentuk nyata kriminalisasi,” ujar Ashabillah.
Setelah putusan sidang praperadilan, kasus para warga dilimpahkan ke kejaksaan pada 13 Juli 2025. Dengan demikian, status penahanan mereka kini berada di bawah kewenangan Kejaksaan, bukan lagi Polda Malut.
FPUD menilai pelimpahan ini tak memiliki dasar hukum kuat. Menurut mereka, penetapan tersangka melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 66 undang-undang itu menegaskan, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”
Selain itu, dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 8 Tahun 2022 juga ditegaskan bahwa perlindungan hukum wajib diberikan kepada setiap warga yang memperjuangkan lingkungan.
“Kejaksaan tak punya alasan hukum untuk melanjutkan proses pidana terhadap 11 warga tersebut. Mereka bukan pelaku kriminal, mereka adalah penjaga hutan,” kata Ashabillah.
Menurutnya, peristiwa ini mencerminkan pola lama negara yang lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan rakyat. FPUD menyatakan akan terus mengawal proses persidangan yang akan berjalan di Pengadilan Negeri Tidore Kepulauan.
“Kami tak akan diam. Perjuangan ini belum selesai. Kami akan terus bersuara hingga keadilan ditegakkan dan 11 pejuang lingkungan dibebaskan tanpa syarat,” ujar Ashabillah.
Ia juga mengajak masyarakat Indonesia, khususnya Maluku Utara, untuk bersolidaritas membela hak-hak masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya.
“Dengan solidaritas, kita bisa membebaskan 11 warga Maba Sangaji. Hari ini mereka, besok bisa jadi siapa saja,” pungkasnya. (Rifal)