Ternate – istanafm.com. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Perjuangan untuk Demokrasi menggelar aksi di depan Markas Kepolisian Daerah Maluku Utara, Senin, 30 Juni 2025.
Mereka mendesak Kepolisian Republik Indonesia mencopot Kapolda Maluku Utara dan membebaskan 11 warga Maba Sangaji yang kini berstatus tersangka.
Kesebelas warga itu sebelumnya ditangkap saat mengikuti aksi damai menolak operasi tambang nikel PT. Position di wilayah adat mereka.
Koordinator aksi, Yasim Majid, mengatakan penangkapan terjadi pada Minggu, 18 Mei 2025. Saat itu, 27 warga ditangkap ketika menggelar prosesi adat sebagai bentuk penolakan tambang di kawasan hutan adat Maba Sangaji, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur.
“Penangkapan dilakukan secara paksa. Aparat membubarkan kegiatan adat dengan alasan keamanan, padahal warga tak melakukan kekerasan,” kata Yasim kepada Istana FM.
Dari 27 orang yang ditangkap, 11 di antaranya kini ditahan dan dijerat dengan pasal pemerasan, premanisme, serta menghalangi investasi.
Front menyebut penetapan tersangka itu sebagai bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidupnya. “Negara justru berpihak pada perusahaan. Warga yang membela haknya malah dikriminalisasi,” ujar Yasim.
Menurut Front, PT. Position mulai beroperasi di wilayah adat Maba Sangaji sejak akhir 2024 tanpa persetujuan warga. Perusahaan disebut membuka lahan tambang di hutan adat, merusak lingkungan, mencemari sungai, dan menggusur lahan pertanian.
Penangkapan warga juga dinilai cacat prosedur. Sebagian diinterogasi tanpa pendampingan hukum, diminta menandatangani dokumen tanpa penjelasan, serta dipaksa menjalani tes urin. Sejumlah warga mengaku mengalami kekerasan fisik saat penangkapan.
Yasim juga menyoroti penggunaan pasal-pasal yang dinilai bermasalah, seperti Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, Pasal 162 UU Minerba, dan Pasal 368 KUHP. “Pasal-pasal ini kerap digunakan untuk membungkam warga yang menolak tambang,” katanya. (Rifal Amir)