Next Post

May Day: Tambang Kaya, Buruh Merana

b2152b0b-207d-4614-a95e-0159c45c105d

Ternate — istanafm.com. Di saat tambang terus menumpuk laba, buruh di Maluku Utara justru terus dihimpit derita. Tanah adat dirampas, rakyat dipukul, sementara aparat berdalih “pengamanan”.

Di tengah kenyataan pahit itu, ratusan mahasiswa Ternate turun ke jalan pada peringatan May Day, menggugat ketidakadilan yang kian telanjang di negeri tambang ini, Rabu (1/5/2025).

Massa yang tergabung dalam Aliansi Mei Berlawan ini menyoroti persoalan pelik yang dihadapi buruh lokal, terutama di sektor pertambangan, sekaligus mengecam tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat adat di Halmahera Timur.

Aksi yang dipusatkan di kediaman Gubernur Maluku Utara, Kota Ternate, itu menuntut pemerintah dan perusahaan tambang untuk menghormati hak-hak buruh, termasuk memastikan keselamatan kerja di tengah maraknya aktivitas pertambangan di wilayah Maluku Utara.

Para mahasiswa menilai buruh di sektor ini masih menghadapi kondisi kerja yang buruk, upah rendah, jam kerja berlebih, serta minimnya perlindungan keselamatan.

Selain isu buruh, massa aksi juga menyuarakan kecaman keras terhadap tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat Wayamli, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur.

Warga adat Wayamli disebut mengalami kekerasan saat mempertahankan tanah ulayat mereka yang kini diklaim oleh perusahaan tambang PT Sambaki Tambang Sentosa (STS).

Para mahasiswa mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum segera menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan menghormati hak atas tanah mereka.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Khairun (Unkhair), M. Fatahuddin Hadi, menyampaikan bahwa perjuangan buruh dan masyarakat adat adalah satu kesatuan yang kini sama-sama terancam oleh ekspansi tambang dan kekerasan negara.

Ia juga menyoroti tindakan aparat keamanan yang disebut brutal dalam membubarkan masyarakat Wayamli di Halmahera Timur.

Menurutnya, apa yang terjadi di Wayamli adalah bentuk nyata kriminalisasi rakyat yang membela hak atas tanah adatnya.

“Sebelum ke kediaman Gubernur, kami juga mendatangi kantor Polda Malut untuk menuntut pertanggungjawaban atas tindakan represif aparat keamanan yang menembakkan gas air mata, sehingga menyebabkan setidaknya tiga warga menjadi korban,” tuturnya.

“Atas dasar penembakan tersebut, kami menuntut Kapolda Malut segera mencopot Kapolres Halmahera Timur dan memberikan sanksi kepada oknum aparat yang melakukan pengamanan tidak sesuai prosedur,” sambung Fatahuddin.

Sementara itu, Badwi Pina, Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate, menyatakan bahwa isu paling mendesak dalam aksi ini adalah pemenuhan hak-hak buruh yang masih terabaikan, baik di tingkat lokal maupun nasional.

“Secara nasional, tuntutan kami adalah kenaikan upah buruh dan pengurangan jam kerja. Karena sampai saat ini masih banyak perusahaan yang belum menerapkan jam kerja sesuai ketentuan yang berlaku,” ucapnya.

Badwi juga menyoroti bahwa ruang demokrasi bagi buruh tambang di Maluku Utara masih sangat terbatas. Hak untuk berserikat, menyampaikan pendapat, dan menuntut perbaikan kesejahteraan seringkali terhambat.

Buruh yang menyuarakan haknya kerap mendapat tekanan, baik dari perusahaan maupun aparat, sehingga aspirasi buruh sulit tersampaikan secara bebas.

Ia juga menegaskan bahwa kepastian keselamatan kerja bagi buruh tambang di Maluku Utara masih menjadi persoalan serius. Banyak perusahaan tambang belum sepenuhnya memenuhi standar keselamatan kerja yang layak.

“Buruh sering bekerja dalam kondisi berisiko tinggi tanpa perlindungan memadai, sementara pengawasan dari pemerintah juga masih lemah. Sehingga hak buruh atas lingkungan kerja yang aman belum terpenuhi,” tegasnya.

“Kami juga menyoroti nasib buruh di PT IWIP, Halmahera Tengah, yang hingga kini masih bekerja dengan sistem kontrak tanpa kepastian, jam kerja panjang, dan penerapan K3 yang tidak maksimal. Karena itu, kami mendatangi kediaman Gubernur Malut untuk menuntut agar menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana mestinya,” lanjut Badwi.

Isra Mudi, salah satu peserta aksi dari Aliansi Mei Berlawan, menegaskan bahwa hasil diskusi front menyimpulkan bahwa Gubernur Maluku Utara memiliki kewenangan penuh untuk mengontrol dan mengatur aktivitas pertambangan di daerah ini.

“Karena itu, masalah ini kami jadikan tuntutan serius untuk Pemerintah Provinsi Maluku Utara,” tandasnya. (Rifal Amir)

ISTANA FM

ISTANA FM

Related posts

Newsletter

Jangan sampai ketinggalan informasi! Masukkan email Anda dan dapatkan update atas setiap berita terbaru di Istana FM!

ban11