~Perjalanan Menuju Pasar
Pagi itu, langit Ternate memancarkan panas tanpa teduh. Matahari seolah lebih dekat, menyengat kulit sebelum hari benar-benar dimulai.
Di tengah terik itulah saya memacu Vespa tua keluaran 1981 menyusuri jalanan kota, hendak meliput ke Pasar Higienis, Kelurahan Gamalama, Kecamatan Ternate Tengah.
Tapi seperti sudah saling mengenal, Vespa itu mulai berulah. Tarikan gas tersendat, suara mesin brebet—tanda yang tak asing bagi pemilik motor tua: busi bermasalah.
Belum sampai setengah jalan, mesin benar-benar menyerah. Saya menepi di bawah matahari yang tak kenal ampun, lalu menuntun Vespa ke bengkel kecil di dekat lampu lalu lintas Kelurahan Sangaji, Kecamatan Ternate Utara. Busi ukuran 19 diganti seharga Rp 35 ribu.
Tak ada kejutan—kecuali bahwa saya masih terus bertahan bersama kendaraan yang sudah lebih dari empat dekade umurnya.
Mesin Vespa 150cc itu akhirnya kembali menyala. Dentuman khas dua tak-nya kembali terdengar, sedikit sumbang tapi penuh daya juang.
~Kelapa, Payung, dan Perjuangan
Perjalanan saya lanjutkan menuju Pasar Higienis Gamalama. Di pasar itu, pada April lalu, suasana lebaran masih terasa. Beberapa kios tampak tutup, pembeli pun tak seramai biasanya.
Namun di sudut pasar, di bawah payung usang yang warnanya sudah pudar, tampak seorang perempuan paruh baya duduk tenang di bangku kecil berukuran 60×30 cm.
Wajahnya tetap tersenyum ketika saya memarkir motor di samping lapaknya. Di hadapannya, puluhan butir kelapa muda tersusun rapi, seolah menantang panas matahari.
Hingga memungkinkan saya untuk berpikir, bahwa setiap butir kelapa yang terjual adalah harapan untuk dapur tetap mengepul dan anak-anaknya tetap bersekolah.
Wati (42), begitulah namanya. Perempuan kelahiran 1983 asal Kelurahan Bula, Kecamatan Ternate Barat, yang lebih dari tiga tahun terakhir menggantungkan hidup dari berjualan kelapa muda.
Pagi itu, di sela obrolan ringan, Wati mulai bercerita. Senyum lebar tak pernah lepas dari wajahnya, meski ia tahu dagangannya hari itu tak akan seramai biasanya.
“Keuntungan bisa lebih dari 1 juta. Kalau kelapa ada 130-150 buah, itu bisa untung lebih dari 1 juta,” ujarnya dengan mata yang menyiratkan semangat.
Namun, stok sebanyak itu bukan hal mudah didapat. Meski sudah kembali mendapatkan kelapa setelah beberapa hari vakum, jumlah yang tersedia tak sebanyak harapan.
“Saya jualan setiap hari. Cuma lebaran ini baru dua hari saya dapat kelapa lagi. Empat hari sebelumnya, saya tidak dapat kelapa. Kelapa ini saya beli di kampung, di Bula. Saya beli dari mereka, satu buah 5 ribu, belum termasuk ongkos bawa pakai mobil ke tempat jualan,” jelasnya, sambil membetulkan susunan kelapa di depannya.
~Dari Belakang Mall ke Pasar Gamalama
Soal tempat berjualan, Wati sudah kenyang pengalaman. Dahulu ia berdagang di belakang mal, tempat yang kini sepi pembeli.
Kini, ia memilih menetap di pasar ini, meski harus membayar sewa harian ke Dinas Pasar dan Dinas Kebersihan.
“Tempat ini kami sewa sehari 20 ribu, bayar ke Dinas Pasar dan Dinas Kebersihan, masing-masing 10 ribu. Tapi kalau hari biasa, Dinas Kebersihan hanya 5 ribu, Dinas Pasar tetap 10 ribu. Sore baru setor,” ungkap Wati, yang tampak sudah akrab dengan segala aturan pasar.
Senyumnya kembali merekah saat ia bercerita tentang peruntungan barunya. Di tempat sekarang, pembeli datang silih berganti—memborong bukan hanya satu, tapi kadang berkantong-kantong.
“Kalau jualan di belakang mal, kelapa 100 buah itu baru habis 2-3 hari. Tapi kalau di sini, satu hari langsung habis. Di sini paling bagus, orang belanja banyak,” katanya.
~Diusir, Diangkut, tapi Tak Menyerah
Namun, perjalanan menjadi pedagang kelapa muda tak selalu mulus. Ia dan pedagang lain sempat dipindahkan ke Taman Oranje—sebuah lokasi yang katanya strategis, tapi nyatanya sepi pembeli.
Wati ingat betul bagaimana harus mengangkut puluhan kelapa menggunakan jasa gerobak dari Benteng Oranje menuju lapaknya yang sekarang—berjarak sekitar 340 meter dari Pasar Gamalama. Bagi perempuan seperti dirinya, pekerjaan itu sangat menguras tenaga.
“Tempat ini dulu kami tidak boleh jualan. Kami sempat disuruh pindah ke Taman Oranje, tapi di sana orang jarang belanja. Akhirnya, mau tidak mau kami kembali ke sini. Pernah juga barang-barang kami diangkut, kami terpaksa pindah lagi, pakai gerobak angkut kelapa ke pasar, sampai kehabisan modal,” kenangnya.
Meski penuh tantangan, setiap hari, Wati menggantungkan harapan pada tumpukan kelapa muda di hadapannya. Jika stok sedang banyak, dagangan bisa bertahan hingga malam.
Tapi hari itu, ia hanya membawa sekitar 70 buah—yang justru habis lebih cepat dari biasanya. Tak semua keuntungan langsung dihabiskan. Ada yang disisihkan, ditabung perlahan demi masa depan anak-anaknya.
Hari itu, Wati duduk seorang diri menjaga lapak. Tak ada suaminya di samping, tak ada tangan kedua yang biasa membantu membelah kelapa atau melayani pembeli. Stok yang terbatas membuat mereka harus berbagi peran: satu menjaga rumah, satu turun ke pasar.
“Kalau kelapa banyak, bisa sampai malam baru habis. Tapi sekarang cuma bawa 70 lebih, jadi cepat habis. Hasil jualan ini saya tabung. Saya punya tiga anak, dua masih sekolah, satu SD, satu SMP. Anak yang sulung sudah kerja,” ucapnya.
“Biasanya saya jualan
bareng suami, tapi karena kelapa sedikit, saya sendiri dulu,” sambungnya, dengan pandangan yang menerawang sejenak.
Bertahun-tahun Wati menambatkan nasibnya di pinggiran kota, tepat di belakang sebuah mal yang dulunya ramai.
Namun, bukan hanya pembeli yang datang—, teguran, dan pengusiran berkali-kali juga menjadi bagian dari harinya. Terpal yang dipasang sebagai pelindung lapak pun tak luput dari pembongkaran paksa oleh Satpol PP.
Setiap kali diusir, ia harus kembali mencari ruang baru, menata ulang dagangan, dan menguatkan diri menghadapi kemungkinan yang sama.
Lelah bukan sekadar kata—ia nyata dalam langkah, dalam peluh, dan dalam ketakutan akan kehilangan tempat. Tapi bagi Wati, pilihan untuk berhenti tak pernah benar-benar ada. Yang ada hanya bertahan.
“Saya sudah jualan kelapa kurang lebih 3-4 tahun, mulai dari belakang mal itu. Tapi dulu sering diusir Satpol PP, sampai terpal kami dibongkar, nggak boleh jualan lagi. Capek juga, tapi ya harus bertahan,” pungkasnya.
Di tengah hiruk-pikuk Kota Ternate, di bawah terik matahari yang tak pernah kompromi, kisah Wati menjadi potret keteguhan seorang perempuan yang tak menyerah.
Demi keluarga dan harapan yang ia rajut di balik tiap butir kelapa muda yang ia jajakan, Wati terus bertahan—menjadi saksi bisu ketangguhan di sudut pasar yang nyaris terlupakan. (Rifal Amir)