Ternate – istanafm.com. Pembangunan Anjungan Provinsi Maluku Utara tahap IV yang didanai APBD 2025 dan dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Maluku Utara kini menjadi sorotan publik.
Proyek yang berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, ini menimbulkan tanda tanya sejak proses lelang diumumkan.
Berdasarkan data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), terdapat empat peserta yang mengikuti tender. Penawaran terendah diajukan oleh CV Kalembo Ade Mautama sebesar Rp4,08 miliar, diikuti CV Delta Izinhar Rp4,14 miliar, dan CV Mitra Utama Rp4,19 miliar.
Namun, proyek ini justru dimenangkan oleh CV Pilar Nusantara Prima dengan penawaran tertinggi, yakni Rp4,4 miliar.
Keputusan ini menuai kontroversi, terutama karena CV Pilar Nusantara Prima diketahui memiliki rekam jejak bermasalah. Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa perusahaan ini pernah diduga terlibat kasus perampasan lahan di Halmahera Timur.
Dalam laporan media lokal, pemilik CV Pilar Nusantara Prima disebut bekerja sama dengan Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Halmahera Timur serta Kepala Desa Hatetabako.
Mereka diduga mengambil alih lahan milik warga tanpa kompensasi yang layak. Salah satu korban, berinisial DN, mengaku lahannya—yang telah bersertifikat dan diwariskan secara turun-temurun—dirusak akibat proyek senilai Rp4,9 miliar tersebut.
Bahkan, pemilik kontraktor mengaku telah memberikan sejumlah uang kepada kepala desa.
“Saya sudah kasih banyak uang ke Pak Kades, dia yang minta!” ujarnya, dikutip dari matapubliknews.com.
Situasi ini semakin menimbulkan kekhawatiran atas akuntabilitas proyek-proyek daerah yang dibiayai oleh APBD. Proyek publik seharusnya tidak hanya mengikuti prosedur lelang yang transparan, tetapi juga bebas dari praktik kolusi dan korupsi yang merugikan masyarakat.
Sementara itu, Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan, Mansyur, menyatakan bahwa jika CV Pilar Nusantara Prima terbukti melakukan pelanggaran, maka LPSE Halmahera Timur seharusnya telah memasukkannya dalam daftar hitam. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah kabupaten sebagai pemilik proyek turut bertanggung jawab dalam pengawasan.
“Terkait dugaan penyerobotan lahan di Halmahera Timur, jika terbukti, maka seharusnya LPSE Haltim memasukkan perusahaan tersebut dalam daftar hitam,” kata Mansyur kepada reporter Istana FM melalui pesan WhatsApp, Kamis, 7 Agustus 2025.
“Pemutakhiran blacklist di portal LPSE penting agar publik mengetahui, dan ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah sebagai pemilik proyek,” tambahnya.
Mansyur juga menjelaskan bahwa dalam evaluasi pascakualifikasi sistem gugur, terdapat tiga tahapan penilaian: evaluasi administrasi, evaluasi teknis dan harga, serta evaluasi kualifikasi.
Ia menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan audit ulang atau peninjauan terhadap penetapan pemenang tender jika ditemukan indikasi ketidakwajaran atau penyimpangan.
“Itu pasti dilakukan jika ada sanggahan dari peserta tender yang relevan. Pokja bisa melakukan evaluasi ulang,” pungkasnya. (Rifal)