Ternate – istanafm.com. Rayap-rayap di Ternate mungkin kini jadi pembaca paling setia. Sementara buku-buku hasil donasi dari lembaga pemerintah dan swasta menumpuk tak terbaca, minat baca warga Kota Ternate justru kian menyusut. Di beberapa tempat, buku hanya jadi pajangan; di tempat lain, jadi santapan serangga.
Berdasarkan data, Indeks Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) Provinsi Maluku Utara berada di angka 60,52 dan masuk kategori “sedang”. Di antara kabupaten/kota di provinsi ini, Kota Ternate menempati posisi ketiga tertinggi dengan skor 63,56, Kota Tidore Kepulauan 64,60, dan Kabupaten Halmahera Tengah 65,12.
Menanggapi hal itu, dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Khairun Ternate, Rafli Marwan, menyoroti rendahnya minat baca masyarakat di Kota Ternate.
Ia menjelaskan, bahan bacaan di Ternate tidak hanya bersumber dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, tetapi juga berasal dari lembaga swasta seperti Wahana Visi Indonesia dan Bank Indonesia. Sayangnya, menurut dia, banyak donasi buku tidak dikelola dengan baik.
“Buku-buku itu banyak yang dibiarkan begitu saja. Di Pulau Hiri, sebagian besar sudah dimakan rayap. Di Takome, buku hanya jadi pajangan,” kata Rafli kepada reporter Istan FM di ruangan kerjanya, Rabu, 18 Juni 2025.
Kondisi ini menyebabkan buku-buku tersebut rusak dan akhirnya dibuang. “Karena tidak terawat, buku-buku itu akhirnya tidak bisa dibaca,” ujarnya.
Rafli menilai rendahnya minat baca juga terjadi di kalangan pelajar, mulai dari tingkat TK hingga SMA. Ia menyoroti kurangnya kebiasaan membaca di usia dini sebagai salah satu faktor utama.
Menurut Rafli, anak-anak sekarang lebih akrab dengan gawai. Kendati demikian, teknologi memang memudahkan, tapi justru menggeser perhatian mereka dari buku.
Ia mendorong pendekatan yang sesuai dengan perkembangan anak untuk menumbuhkan minat baca sejak dini, misalnya melalui metode belajar sambil bermain.
“Anak usia TK dan SD masih berada pada fase bermain. Jadi, pendekatannya harus menyenangkan,” ujarnya. Ia menambahkan, pengenalan abjad sebaiknya dilakukan melalui aktivitas bermain, lalu dilanjutkan dengan pengenalan kata.
Untuk jenjang SMP, Rafli menekankan pentingnya pembiasaan membaca. Ia mencontohkan praktik yang dilakukan di Pulau Hiri, di mana anak-anak dijadwalkan belajar setiap malam setelah Magrib hingga Isya. Sebelum itu, orang tua dikumpulkan dan diberi pemahaman. Setelah sosialisasi, mereka ikut mengawasi dan membimbing anak-anak belajar.
Baginya, pendekatan pembiasaan juga relevan untuk siswa SMA, meskipun tantangannya lebih besar. “Anak-anak SMA cenderung lebih sulit diarahkan. Tapi pendekatannya tetap pembiasaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, setiap wilayah memiliki tantangan berbeda dalam meningkatkan literasi. Jika di Pulau Hiri pendekatannya berbasis komunitas dan lingkungan, maka di wilayah perkotaan, pendekatan harus disesuaikan dengan dinamika sosial yang lebih kompleks. (Rifal Amir)