Jakarta, CNN Indonesia – Presiden Recep Tayyip Erdogan berhasil mempertahankan kursi kepemimpinannya untuk periode ketiga usai menang putaran kedua pemilu Turki pada Minggu (28/5).
Erdogan berhasil mengantongi 52,14 persen suara, mengalahkan rival beratnya, Kemal Kilicdaroglu, yang akhirnya hanya bisa meraup 47,86 persen suara.
Dalam pemilu kali ini, Erdogan cukup bersusah payah untuk menang mutlak imbas berbagai krisis yang dihadapi Turki hingga membuat banyak warga yang semula mendukungnya, menimbang-nimbang lagi pilihan mereka.
Pria berusia 69 tahun itu juga ‘dikeroyok’ habis-habisan oleh oposisi yang sejak lama ingin menjegal pemerintahannya.
Turki pun menghadapi inflasi tertinggi dalam 24 tahun, harga biaya hidup yang kian meroket, hingga gempa bumi dahsyat yang membuat penanganan pemerintah soal bencana dikritik juga menguji masa-masa kepemimpinan Erdogan jelang pemilu.
Pengekangan terhadap kebebasan berekspresi di masa pemerintahan Erdogan juga makin disorot para pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM).
Terlepas dari berbagai kondisi-kondisi tak enak itu, apa penyebab Erdogan masih bisa menang pemilu?
Salah satu peneliti di Pusat Studi Internasional Sciences Po, Bayram Balci, menganggap keberagaman pihak oposisi koalisi Erdogan yang dipimpin rival beratnya, Kemal Kilicdaroglu, justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Menurutnya, pihak oposisi telah menunjukkan persatuan dan solidaritas untuk menjatuhkan Erdogan. Koalisi oposisi sendiri terdiri dari enam partai politik yang berbeda secara ideologis, mulai dari demokrasi sosial hingga nasionalisme dan Islamisme.
Namun, Balci menilai “keberagaman” itu justru membuat para pemilih ragu-ragu apakah koalisi oposisi mampu memerintah dengan banyak perbedaan tersebut ketika memenangkan pemilu.
“Oposisi memang menunjukkan persatuan dan solidaritas untuk menjatuhkan Erdogann, tapi gagal meyakinkan pemilih bahwa, jika menang, bisa memerintah negara. Hal yang menjadi kekuatannya yaitu keragaman dan heterogenitasnya, justru menjadi kelemahan (oposisi),” ucap Balci melalui analisisnya berjudul Turkish Elections: Why is Erdogan still Unbeatable.
Visi misi oposisi ‘tak menarik bagi’ pemilih
Satu-satunya perbedaan nyata visi misi kampanye koalisi Erdogan dan oposisi adalah soal kebebasan berekspresi dan supremasi hukum.
Supremasi hukum di Turki dianggap semakin rusak dalam beberapa tahun terakhir. Penegakkan hukum dan HAM pun menjadi fokus utama kampanye pihak oposisi.
Namun tampaknya isu supremasi hukum dan keamanan bukan prioritas sebagian besar para pemilih terutama pihak konservatif.
Sementara itu, strategi Erdogan untuk menggembor-gemborkan isu stabilitas nasional kebesaran bangsa, hingga pengaruh Turki di panggung internasional justru membuahkan hasil baginya dalam pemilu kali ini.
Pintar mengambil hati pemilih
Dilansir Al Arabiya, selama memerintah, Erdogan selalu menerapkan nilai-nilai Islam di negara yang selama hampir satu abad ini didefinisikan sebagai negara sekularisme. Upaya Erdogan ini berhasil memupuk loyalitas mendalam di antara para pendukungnya yang konservatif.
Ambil contoh, upaya Erdogan memerangi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Isu anti-LGBT ini terus-terusan digaungkan Erdogan selama dia berkampanye.
Bahkan, dia tak segan menuding oposisinya, terutama Kilicdaroglu, LGBT. Dengan kampanye Erdogan ini, citra Kilicdaroglu pun ‘ambrol’ di mata konservatif.
Selain soal LGBT, Erdogan juga punya pengalaman yang menyenangkan para konservatif yakni mencabut aturan yang melarang perempuan mengenakan hijab di sekolah dan kantor pemerintah.
Langkah reformasi ini dimulai pada 2011 dengan mencabut larangan mengenakan jilbab di universitas. Reformasi kemudian dilanjutkan pada 2013 yang menyasar institusi negara.
Saat itu, Erdogan ditentang keras oleh oposisi karena dinilai memundurkan nilai sekuler Turki dan mengedepankan nilai-nilai Islam. Namun Erdogan tak ambil pusing dan justru terus mereformasi aturan yang menurutnya diskriminatif.
Lebih lanjut, Erdogan juga meraih banyak suara karena berani menggelontorkan biaya besar demi infrastruktur. Salah satunya dilakukan usai gempa dahsyat mengguncang Turki pada 6 Februari lalu hingga merusak ratusan ribu bangunan.
Dia berjanji bakal menghabiskan dana berapa pun untuk merekonstruksi daerah-daerah terdampak gempa. Karena janjinya ini, partainya, AKP, memenangkan suara di 10 dari 11 provinsi terdampak gempa di Turki dalam pemilu.
Erdogan juga bisa menang karena secara ketat mengendalikan media Turki demi mempererat kekuasaan dan citra baiknya. Anggota pengawas radio dan televisi Turki, Ilhan Tasci, pernah mengatakan bahwa stasiun televisi negara TRT Haber menghabiskan lebih dari 48 jam waktu siaran hanya untuk Erdogan sejak 1 April.
Durasi itu berbeda dengan yang diberikan kepada Kilicdaroglu yaitu selama 32 menit.
Erdogan juga meraup suara banyak karena banyak pendukungnya memandang sang petahana sebagai pemimpin yang berhasil menunjukkan bahwa Turki bisa menjadi pemain utama dalam geopolitik.
Erdogan selama ini menunjukkan bahwa Turki merupakan negara yang mandiri serta dapat dengan mudah mengendalikan militer, karena terlibat dengan negara-negara Timur dan Barat.
Di bawah kepemimpinannya, Turki menjadi anggota kunci NATO karena lokasinya yang strategis di persimpangan Eropa dan Asia, serta kekuatannya sebagai pengendali militer terbesar kedua di aliansi tersebut.
Erdogan berhasil membawa Turki menjadi anggota NATO yang sangat diperlukan dan terkadang merepotkan. Swedia sampai-sampai kesulitan masuk aliansi usai bersitegang dengan Ankara.
Erdogan juga sukses memberikan pengaruh besar di kancah global karena menengahi kesepakatan penting yang memungkinkan Ukraina mengirim biji-bijian lewat Laut Hitam ke berbagai belahan dunia yang berjuang keras melawan krisis makanan.
Usai perang saudara pecah di Suriah pada 2011, Erdogan juga melibatkan Turki dengan mendukung oposisi yang berupaya menggulingkan Presiden Bashar al-Assad.
Kekacauan di Suriah pun meletus hingga memicu gelombang pengungsi Suriah ke berbagai negara Eropa. Erdogan menggunakan kesempatan itu untuk mengancam bakal membuka perbatasan Turki dan membanjiri negara Eropa dengan para migran.
Negara Eropa pun ‘tunduk’ dengan Erdogan karena ogah menerima gelombang pengungsi Suriah.
Menurut wawancara dengan para pemilih dan analis, popularitas Erdogan juga didapat karena banyak warga Turki yang lebih menginginkan stabilitas ketimbang perubahan.
“Selama masa krisis nasional seperti ini, orang biasanya berkumpul di sekitar pemimpin,” kata Gonul Tol, analis di Middle East Institute di Washington.
“Para pemilih tidak memiliki cukup kepercayaan pada kemampuan oposisi untuk memperbaiki keadaan.”
Pengamat dari Institut Kajian Asia dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, Boris Doglov, juga mengatakan Erdogan punya ‘karisma’ sendiri serta telah membuat langkah besar dalam kebijakan luar negeri. Karenanya, ia punya peluang yang cukup untuk menang di putaran kedua.
“Saya yakin Erdogan punya cukup kesempatan untuk menang di putaran kedua,” ujar Doglov, seperti dikutip TASS.
“Dia berkepribadian karismatik dan seorang politikus yang telah membuat langkah besar dalam kebijakan luar negeri.”
(blq/rds)
Artikel ini telah tayang di laman CNN Indonesia dengan judul “Kenapa Erdogan Menang Pilpres Lagi Meski Turki Makin ‘Berantakan’?” selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20230529090102-134-955121/kenapa-erdogan-menang-pilpres-lagi-meski-turki-makin-berantakan/2.